Ada waktu-waktu di mana aku duduk di lantai, memeluk lutut, mencoba menjadi sekecil mungkin. Berharap bisa menyusut hingga bisa bersembunyi di celah antara papan parket. Dunia terasa terlalu besar, terlalu bising, terlalu banyak menuntut. Dan di tengah semua kegaduhan itu, yang paling keras justru suara dari dalam kepalaku sendiri.
Aku adalah dirigen dari orkestra yang tak pernah berhenti bermain. Setiap instrumen adalah jenis kecemasan yang berbeda. Biola adalah keraguan yang mendenging, trompet adalah teriakan tuntutan yang memekakkan, drum adalah detak jantung yang tak pernah stabil. Dan aku berdiri di sana, dengan tongkat di tangan yang gemetar, mencoba mengarahkan musik yang semakin tak terkendali.
Kadang aku tertawa di saat yang salah. Di tengah percakapan serius, di saat orang lain sedang berduka, di momen yang seharusnya diisi dengan kesunyian. Tawaku pecah tak karuan, seperti piring yang jatuh dan menghamburkan pecahan di mana-mana. Lalu aku melihat wajah-wajah yang bingung, dan tawa itu berubah menjadi isakan yang tak bisa dihentikan.
Aku mulai menghindari cermin. Bukan karena takut melihat penuaan, tapi karena takut bertemu dengan mata yang tak lagi kukenal. Ada orang asing yang menatap balik setiap kali aku berdiri di depan permukaan yang memantulkan bayangan. Orang asing dengan lingkaran hitam di bawah mata, dengan garis-garis kelelahan di sudut bibir, dengan pandangan kosong yang seolah mengatakan: "Aku sudah lelah, tapi tak bisa berhenti."
Kontrol adalah ilusi yang kupercaya selama ini. Seperti anak kecil yang memegang tali layang-layang yang putus, masih berusaha menarik-nariknya padahal yang ada di ujung sana hanyalah udara kosong. Aku membuat daftar, menandai kalender, menyusun prioritas—semua ritual untuk meyakinkan diri bahwa ada keteraturan di tengah kekacauan. Tapi kenyataannya, hidup ini seperti air yang terus mengalir melalui celah-celah jari yang mencoba menggenggam.
Pikiran-pikiranku adalah taman yang terlantar. Tanaman merambat ketakutan menjalar di setiap sudut, bunga-bunga paranoia mekar di bedengan yang seharusnya ditanami keyakinan, dan rumput liar keraguan tumbuh subur menutupi jalan setapak yang dulu jelas. Aku berjalan di taman ini setiap hari, tersandung akar-akar kenangan yang menjulur, tergores duri penyesalan yang tajam.
Telepon yang berdering membuatku kaget. Pesan yang masuk membuat jantung berdebar. Aku membaca makna yang tak ada di balik setiap kata. Tanda titik yang seharusnya biasa saja, tiba-tiba menjadi penuh teka-teki. Apakah dia marah? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah mereka sedang membicarakanku?
Dan kesepian—aku sudah belajar hidup dengannya seperti sel kanker yang tak bisa dioperasi. Kadang diam, kadang aktif tumbuh, tapi selalu ada. Aku bisa berada di tengah keramaian dan tetap merasa seperti terasing di planet yang berbeda. Setiap tawa orang lain terdengar seperti bahasa asing yang tak kupahami, setiap pelukan terasa seperti gesture kosong tanpa makna.
Tapi yang paling menakutkan adalah ketika aku memberikan diriku sendiri rasa ngeri. Ketika aku menyadari betapa mudahnya pikiranku berbalik menghancurkan. Seperti ular yang menggigit ekornya sendiri, seperti musuh yang tinggal dalam rumah sendiri. Aku tak bisa lari dari diriku sendiri, tak bisa bersembunyi dari suara-suara di kepalaku.
Semuanya menumpuk. Seperti sampah yang tak pernah diangkut, bau busuknya mulai meresap ke dalam setiap sudut keberadaanku. Tanggung jawab yang tertunda, janji yang tak tertepati, harapan yang terkubur—semuanya membentuk gunungan yang semakin tinggi, semakin tidak stabil, siap longsor kapan saja.
Aku merasa akan pecah. Bukan perlahan seperti retakan pada tembok tua, tapi tiba-tiba seperti gelas yang dilempar ke lantai. Aku membayangkan diriku terfragmentasi menjadi serpihan-serpihan kecil, tersebar di seluruh ruangan, tak bisa dikumpulkan lagi.
Tapi anehnya, di tengah semua ini, masih ada bagian dari diriku yang bertahan. Seperti lilin kecil yang terus menyala meski angin berusaha memadamkannya. Aku masih bisa menuliskan kata-kata ini. Masih bisa merasakan sakitnya berada di sini. Masih bisa memilih untuk tidak menyerah sepenuhnya.
Mungkin ini bukan paranoia.
Mungkin ini bukan mabuk.
Mungkin ini hanya
menjadi manusia—
dengan semua kompleksitas
dan kontradiksi
yang menyusunnya.
Aku belajar
untuk tidak melawan arus
tapi belajar berenang
dengan gaya yang kumiliki.
Aku belajar
untuk tidak membungkam suara-suara
tapi belajar mendengarkan
apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Aku belajar
untuk tidak membenci kepekaanku
tapi belajar menggunakannya
sebagai kompas menuju pemahaman.
Dan di malam-malam
ketika segalanya terasa
terlalu berat
untuk ditanggung sendiri,
aku mengingat
bahwa retakan-retakan ini
adalah yang membuatku jadi
manusia,
bukan mesin.
Bahwa kepekaanku
adalah kekuatan,
bukan kelemahan.
Bahwa perjuangan ini
adalah bukti
bahwa aku masih hidup,
masih merasakan,
masih peduli.
Jadi izinkan aku
terus menulis.
Terus merasakan.
Terus mencoba.
Meski dengan tangan gemetar
dan hati yang compang-camping.
Karena dalam kekacauan ini,
aku masih menemukan
jejak-jejak
makna.

