Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Kamar dengan Semesta yang Runtuh


Asbak di tepi tempat tidur sudah penuh lagi. Puntung-puntung rokok menumpuk seperti mayat serangga di kuburan massal. Bau keringat mengapung di udara—campuran asam, tembakau, dan keputusasaan—menempel di langit-langit kamar yang kuning oleh nikotin. Kipas angin di sudut mengeluarkan desir parau. Udara panas yang dihembuskannya seperti napas naga tua yang sekarat. Usianya sudah uzur. Masih berputar, tapi tanpa semangat. Seperti dirinya.

Di lantai, bungkus Indomie kusut tergeletak. Kuah keringnya meninggalkan noda kecokelatan di ubin retak. Dari radio tua di lemari, November Rain diputar untuk kesekian kalinya. Slash ber-solo gitar dengan getaran yang menggema di dinding kosong. Orang miskin juga boleh patah hati. Bahkan lebih dalam. Karena yang tersisa hanya lagu-lagu dan mi instan.

Einstein menjulurkan lidah dari poster di dinding. Ekspresi jenaka yang ironis. Di sebelahnya, poster Hotel California—gedung putih yang seolah berbisik: "You can check out any time you like, but you can never leave." Kamar ini memang seperti hotel itu. Perangkap. Penjara tanpa jeruji.

Gitar listrik dengan stiker ganja dan wajah Bob Marley ada di pangkuannya. Senarnya sudah tiga putus. Jari-jarinya memetik chord yang salah. Tapi suaranya tetap keluar. Serak. Seperti tangisan yang disamarkan jadi nyanyian. Sementara biarlah begini. Kata-kata itu jadi mantra. Pembenaran untuk tidak beranjak.

Kasur tanpa seprai. Busanya keluar dari lubang di sudut. Keras. Tidak nyaman. Seperti penisnya yang mendadak tegang saat melihat gadis-gadis montok di majalah FHM yang berserakan. Tubuh mereka sempurna. Terang. Berkilau. Berbeda dengan realita kamar ini yang suram dan berdebu. Keras. Seperti hidup setelah keluar dari rumah. Keras. Seperti tengkuknya yang harus terus menanggung beban.

Tidur nak, tidak apa-apa. Ia berbicara pada dirinya sendiri. Besok kita ulangi lagi. Besok kita bernyanyi kembali. Tentang langit yang tak pernah menjawab. Tentang bintang-bintang yang mati sebelum cahayanya sampai ke bumi. Tentang hidup setelah sakit cinta yang tak kunjung sembuh.

Masih ada waktu untuk berbagi sebotol bir murah. Dingin. Pahit. Mengalir di kerongkongan seperti obat bius sementara.

Laki-laki jarang menangis. Tapi malam ini, ia memetik gitar dan bernyanyi—suaranya pecah, air matanya jatuh ke senar yang berkarat.

Dan di kamar yang pengap ini, di antara asap rokok dan debu, di antara lagu-lagu dan impian yang remuk, ia menangis. Diam-diam. Seperti hujan di atap seng yang tak lagi didengar siapa pun.