Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Curhatan Dalam Diam

Langit Madiun sore ini seperti kapas basah yang dirobek-robek. Kelabu dan menggantung rendah. Aku hitung sudah tiga ratus hari lebih. Bukan sepuluh hari, bukan seratus. Tapi sepuluh bulan yang menggerogoti ingatan. Di sela deru kipas angin tua, kudengar dentang jam dinding di ruang sebelah. Bunyinya berat. Seperti palu yang memukul paku ke peti mati waktu. Setiap "ting"-nya membawa bayangan tawa anakku. Semakin samar. Semakin jauh. Seperti suara radio yang disetel di frekuensi yang salah.  

Angin yang menyelinap lewat jendela retak membawa tiga aroma: bau obat gosok yang menusuk, anyir rebusan jamu pahit, dan bau kesepian.

Kesepian itu baunya khas. Seperti debu di tirai yang tak pernah dibuka. Seperti kertas resep dokter yang menumpuk di laci. Seperti bantal yang sebelahnya selalu dingin.  

Tiba-tiba aku ingat hujan di kota itu. Hujan di Sidoarjo. Dulu, setiap mendung menggumpal, anakku lari ke teras sambil teriak: "Ayah! Boleh aku main hujan?" 

Sekarang? Aku tak tahu. Berapa kali gerimis menyapu jalanan depan rumah tanpa kehadiranku? Berapa kali banjir kecil menggenangi jalanan yang biasanya kubersihkan? Lima belas? Dua puluh? Angka-angka itu berdesakan di pelipisku. Berdengung seperti lalat di ruang tengah yang sunyi.  

Lalu ada bohlam. Lampu-lampu kamar di rumah Sidoarjo yang selalu mati mendadak setiap dua bulan. Biasanya aku yang memanjat kursi kayu goyah, tanganku kotor oleh debu fiting lampu. Bulan lalu, lewat video call yang putus-nyambung, kulihat istriku melakukannya sendiri. Tangannya gemetar saat memutar bohlam baru. Senyumnya kaku. "Gampang kok," bisiknya. Tapi matanya bicara lain. Matanya berkata: "Kamu seharusnya di sini."

Kudekap bantal tua ini lebih kencang. Masih menyisakan sedikit bau sampo anakku dari kunjungannya beberapa bulan lalu. Perlahan-lahan ia menghilang. Digantikan bau kamper dan salep panas. Di luar, langit semakin gelap. Suara batuk Ibu dari ruang sebelah. Kering. Parau. Seperti ranting patah.  

Aku mencoba menghitung lagi:  
- Berapa malam istriku tidur memeluk guling sebelah?  
- Berapa kali anakku bertanya "Kapan Ayah pulang?" sebelum akhirnya berhenti bertanya?  
- Berapa tetes air mata yang tiap malam terserap bantal ini?  

Jawabannya mengendap di kerongkongan. Menjadi benjolan pahit. Angkanya berhimpitan di balik tulang dadaku. Tapi lidahku beku. Mulutku hanya bisa menganga seperti ikan yang terdampar. Kata-kata itu... semua kata-kata itu... mengkristal jadi garam di sudut mata.  

Jam dinding itu berdetak lagi. Aku tak berani menengok. Setiap detiknya mengiris. Mengingatkanku pada sesuatu yang tak bisa kuraih. Tawa anakku. Pelukan istriku. Bahkan pertengkaran kami yang dulu. Semua terasa lebih indah daripada kesunyian yang merajut jaring laba-laba di sudut langit-langit ini.  

Di jendela, bayanganku kabur. Terpecah dua: satu di sini, satu di sana. Keduanya tak utuh. Keduanya bisu.