Setiap kali ponsel berdering sekarang, ada beban baru di dadaku. Azmi muncul di layar dengan wajah datar—tak lagi merebut gawai dari Bunda sambil teriak "Ayah!". Matanya tak berbinar. Tangannya asyik memilin ujung baju atau memainkan mainan di sampingnya. Kadang ia bahkan tak menatap kamera. Hanya melirik sekilas jika dipanggil, lalu kembali ke dunianya. Seperti aku hanyalah televisi yang kebetulan menyala di sudut ruangan.
Kubaca perubahan itu di raut istriku. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam. Suaranya serak saat bercerita: "Dia mukul aku lagi tadi... minta beli es krim." Kalimat itu diucapkan tanpa nada. Seperti laporan cuaca. Tapi kulihat bekas merah di lengannya saat kamera bergoyang. Luka kecil itu lebih menyakitkan daripada pukulan mana pun.
Aku ingat dulu—saat bulan-bulan pertama—Azmi akan menempelkan wajah ke layar, berbagi cerita sekolah atau robot-robotannya. Sekarang, percakapan kami hanyalah monolog pendek:
"Ami, makan apa tadi?"
"Nasi."
"Belajar apa di sekolah?"
"Biasa."
"Kangen Ayah?"
"Iya."
Jawabannya singkat. Matanya menatap kosong ke suatu titik di belakangku. Seolah ada sesuatu yang lebih menarik di dinding kamarku yang lembap dan mengelupas.
Istriku berbisik di suatu malam: "Dia tantrum, banting Hp nya uti kemarin... karena aku larang main game." Suaranya gemetar. "Aku lelah Yah..." Kata "lelah" itu menggantung. Lebih berat dari semua tagihan yang menumpuk. Kulihat bayangannya di sudut layar—bahu yang dulu tegar sekarang melengkung seperti dahan patah.
Yang lebih menyakitkan lagi: Azmi mulai memukul tepat di depan kamera. Minggu lalu, saat aku sedang bercerita, tangannya mendarat di paha Bundanya. "Jangan ganggu!" teriaknya. Matanya menyipit. Ekspresi itu asing. Bukan wajah anakku yang dulu mengemis digendong ke mana-mana. Ada kemarahan primitif di sana. Seperti hewan kecil yang terkurung.
Aku mencoba menegur: "Azmi! Jangan mukul Bunda!" Suaraku gemuruh di ponsel. Tapi dia hanya melotot sebentar. Lalu tertawa. Tawa pendek yang membuat darahku membeku. Seolah aku hanyalah suara dari speaker rusak. Tak punya wibawa. Tak punya kekuatan.
Di balik itu, ada kepedihan yang lebih dalam: Dia sudah beradaptasi. Beradaptasi dengan ketiadaanku. Beradaptasi dengan keluarga yang terpenggal. Kekerasannya mungkin teriakan untuk perhatian. Tapi yang lebih menyakitkan—saat dia benar-benar diam. Saat bermain sendirian di kamar tanpa memanggil namaku. Saat tertidur di pangkuan Bundanya tanpa bertanya "Ayah pulang kapan?"
Malam ini, usai video call yang gagal, kudekap baju lama Azmi yang kubawa dari Sidoarjo. Masih ada bekas permen di sakunya. Aroma manis itu kini bercampur bau kamper dan kesepian.
Di luar, jangkrik berbunyi nyaring. Suaranya menusuk kesunyian kamar. Kurebahkan kepala di bantal—bertanya-tanya berapa banyak pukulan, berapa banyak amukan, dan berapa banyak senyap yang harus terjadi sebelum aku benar-benar menjadi bayangan yang hilang dari hidupnya.
Dan di kegelapan ini, satu pertanyaan menggigit: Apakah kehadiranku yang setengah hati lebih merusak daripada ketidakhadiran total?
