Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Monolog

Kudapati sudut di warung kopi tua yang sepi. Bangku kayunya reyot, meja penuh lingkaran bekas gelas. Kuseduh kopi tubruk—hitam pekat tanpa gula. Aroma pahitnya naik berbaur asap rokok, seperti doa yang menguap tanpa kata.  

Kulepaskan sandal. Kaki telanjangku menempel lantai semen yang dingin. Seberang sini, ada kursi kosong. Kukosongkan untuk-Nya. Kuimajinasikan seteguk pertama-Nya: uap yang menari di atas cangkir retak.  

Hidupku mengambang di antara butiran kopi yang mengendap. Kesepian yang tak kunjung usai—sepuluh bulan jadi seratus tahun. Nasib yang membandel seperti noda kopi di serbet. Aku ingin bertanya: Kapan angin akan berubah arah? Tapi mulutku terkunci. Hanya mata yang menatap kursi kosong itu, menyampaikan ribuan tanya yang tersekat di kerongkongan.  

Asap rokok membentuk huruf-huruf tak terbaca. Kubayangkan mobil. Bukan yang mewah. Hanya kotak logam beroda yang bisa mengantar Ibu ke rumah sakit tanpa harus menunggu aplikasi. Tanpa menghitung ongkos yang menggerogoti dompet tipis. Roda yang bisa meluncur ke Sidoarjo kapan saja rindu itu mendadak menggigit tulang rusuk.  

Gelas kopi berkeringat. Tetesan kondensasi mengalir seperti air mata yang tak jatuh. Kekayaan—impian yang semakin kabur. Bukan untuk istana atau emas. Tapi untuk tagihan yang tak bikin degup jantung kencang. Untuk hadiah ulang tahun yang tak cuma lewat chat. Untuk kado mainan yang tak perlu ditolak dengan alasan "besok saja, Nak."  

Sepiring gorengan tak tersentuh. Minyaknya membeku. Kulihat bayangan diri di kaca jendela warung: lelaki lusuh dengan kaos longgar, duduk sendirian di tengah keramaian yang tak menyapa. Tubuh ini jadi peta kehancuran: tulang selangka mencuat, mata berkantung, senyum yang punah.  

Angin malam menyelinap. Membawa gemerisik daun jati kering. Bunyinya seperti uang kertas ditiup. Kuremas struk belanja di saku—deretan angka merah yang selalu lebih panjang dari pemasukan.  

Di langit, bulan sabit menggantung. Tipis. Seperti koin terakhir di kantong. Kuminta pada-Nya tanpa suara: Berilah aku setitik kepastian. Seberapa lama lagi harus bertahan? Tapi yang datang hanya deru truk yang lewat, getarannya mengguncang meja hingga kopiku tumpah.  

Noda hitam itu merayap di taplak. Bentuknya seperti pulau yang terpisah-pisah. Seperti keluargaku. Sidoarjo, Madiun, ruang tunggu rumah sakit—semua terkoyak di lautan ketidakmampuan.  

Kuhirup nafas dalam-dalam. Bau kopi, rokok, dan gorengan basi. Bau kehidupan yang keras. Kuminum sisa kopi yang sudah dingin. Rasa pahitnya menggenang di lidah, meresap sampai ke tulang.  

Kubereskan meja. Kubayar dengan receh terakhir. Saat berjalan keluar, kusempatkan menengok kursi kosong itu. Masih penuh tanda tanya. Masih penuh keheningan.  

Cangkir kopi kosong di wastafel—bekas bibir di pinggirannya seperti jejak doa yang raib. Kudekap kunci motor tua di saku. Getaran mesinnya ketika kuhidupkan terdengar seperti suara parau: Pulanglah. Ada Ibu yang menunggu.  

Malam menelan tubuhku. Lampu jalan menyoroti bayangan panjang yang terpecah-pecah. Satu bayangan menuju rumah sakit. Satu lagi terbang ke arah timur—menembus kegelapan menuju kamar di Sidoarjo yang mungkin sedang dihiasi isak tanpa suara.  

Dan kopi malam ini...  

Hanyalah percakapan sunyi dengan langit yang tak menjawab.