Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

17 Agustus 2025: Fajar di Antara Retak

Lampu-lampu jalan di Madiun masih menyala ketika fajar kelabu menyapu langit. Delapan puluh tahun. Usia yang seharusnya bijak, tegak, penuh wibawa. Tapi udara pagi ini terasa berat—seperti selimut basah yang menutupi tanah air. Di kejauhan, suara drum band sekolah mulai berlatih. Iramanya patah-patah. Seperti denyut nadi bangsa yang tak lagi stabil.

Kulihat bendera merah putih yang dikibarkan di depan rumah tetangga. Ujungnya lusuh. Terkoyak angin malam. Warna putihnya kekuningan, noda debu dan asap kendaraan menempel di seratnya. Merahnya pudar, bukan oleh matahari, tapi oleh waktu yang menggerogoti makna. "Merdeka." Kata itu menggantung di mulut setiap orang hari ini. Tapi di pasar pagi, kudengar keluhan berbisik: harga minyak goreng, tarif listrik, pajak UMKM yang mencekik seperti tali di leher. Suara-suara itu lenyap ditelan deru kendaraan dinas berpelat merah.

Di televisi, upacara berlangsung megah. Seragam rapi. Senyum terkembang. Pidato tentang kemajuan dan persatuan. Tapi di sini, di gang sempit ini, seorang bapak tua mengelap peluh sambil mendorong gerobak rongsok. Kakinya tertatih. Matanya memandang bendera di warung kopi—sekilas rindu, lalu kembali menunduk. Tangis rakyat tak selalu berupa air mata. Kadang ia adalah keringat yang mengalir deras, bahu yang melengkung, dan kantong yang bolong.

Aku menatap langit. Biru tipis tersibak.

Terima kasih, Ibu Pertiwi... untuk tanahmu yang masih mau menumbuhkan padi di sela beton. Untuk air sungai Bengawan Solo yang tetap mengalir meski tercemar rupa. Untuk udara pagi yang sesaat masih bisa kuhirup dalam-dalam sebelum polusi menyergap. Untuk hidup ini—berat, penuh luka, tapi masih berdetak.

Harapan. Ia bagai lilin kecil di tengah angin. Nyala rapuh. Hampir padam tiap kali kabar korupsi baru mencuat, atau harga sembako melambung. Tapi ia tak mati. Masih ada asap tipis yang membubung, keyakinan bahwa suatu hari, entah di tahun ke berapa lagi, ruang-ruang istana akan diisi oleh tangan bersih. Tangan yang bekerja untuk tanah lapang tempat anak miskin bisa berlari, untuk sekolah tanpa pungli, untuk klinik yang tak menolak orang tak berkoin.

Di sudut jalan, spanduk ucapan selamat bergantung koyak. Huruf-huruf emasnya mengelupas. "Dirgahayu RI ke-80" tertulis gagah, tapi di bawahnya, seorang ibu mengais sampah plastik. Kontras itu mengiris. Ibu Pertiwi, engkau tua dan letih. Tubuhmu penuh luka: hutan yang gundul, laut yang tercemar, janji yang menguap. Tapi aku masih bersujud pada akarmu yang keras kepala. Pada semangat yang bertahan di pasar malam, di sawah kering, di bengkel las yang berisik.

Malam akan datang. Kembang api akan menghiasi langit kota. Cahayanya indah, tapi sementara. Seperti janji manis yang terlupakan esok hari. Tapi di balik gemerlap itu, di gubuk-gubuk tanpa lampu terang, di mata para pemulung dan tukang becak, masih ada satu percik api. Api kecil yang berbisik: Bertahanlah. Percayalah. Meski harus menangis di ulang tahunmu sendiri, percayalah bahwa fajar berbeda mungkin datang.

Lilin itu hampir padam...

Tapi selama masih ada yang meniupnya pelan di kegelapan, Ibu, engkau belum kalah.