Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Sayap Sayap Patah


17 Juli 2025, 19:32 WIB. 

Jam dinding di kamar ini berdetak dengan suara serak. Seperti mesin tua yang kehilangan oli. Pukul tujuh lebih tiga puluh dua menit. Waktu yang seharusnya diisi tawa dan lilin di atas kue. Tapi malam ini, hanya ada dinginnya tembok dan debu yang menari di sinar lampu temaram.  

Ulang tahun Istriku. Tak ada bungkus kado berkilau yang kukirim. Tak ada bunga atau parfum yang kuantar. Hanya satu pesan WhatsApp pagi tadi: "Selamat ke-35 Tahun Cintaaaa.." . Kalimat-kalimat kering itu menguap di ruang digital. Tak meninggalkan bekas. Tak punya berat. Seperti daun kering yang diinjak lalu terbang tertiup angin.  

Badan ini semakin ringkih. Kurasakan tulang rusukku mencuat setiap kali bernapas. Seratus empat kilo gram dulu. Sembilan puluh satu sebulan lalu. Sekarang delapan puluh sembilan. Baju-baju lama menggantung longgar. Seperti bendera di tiang setengah patah. Kerja freelance sebagai Sosmed Manajemen dan jasa website makin menyepi. Inbox email kosong. Notifikasi transfer tak pernah datang. Dompet menipis jadi kulit tanpa isi.  

Di ruang sebelah, Ibu batuk lagi. Suaranya menggema di lorong kosong. Tak ada kemajuan. Hanya lingkaran setan: obat, dokter, lemah, mengeluh. Aku duduk di sini. Menatap layar komputer yang gelap. Refleksi wajahku di monitor itu seperti topeng kusam. Mata cekung. Pipi tenggelam. Mulut garis lurus tanpa cerita.  

Rindu ini bukan lagi perasaan. Tapi penyakit. Menghancurkan dari dalam. Menggerogoti daging dan akal. Ingin kuremukkan tembok. Ingin kusobek jarak. Ingin kujeritkan nama mereka sampai suaraku pecah. Tapi yang kulakukan cuma mengepal di atas meja kayu yang lapuk. Kuku-kuku ini meninggalkan cakar di permukaannya.  

Aku ini burung tanpa sayap. Dua sayap itu bernama Azmi dan Istriku. Terkubur di kota lain. Tanpa mereka, tubuh ini cuma bangkai yang menyeret diri dari kasur ke kursi. Dari kursi ke dapur. Menanak nasi untuk Ibu yang makannya tak pernah habis. Menyeduh teh yang semakin pahit.  

Layar ponsel gelap. Tak ada dering telpon darinya. Mungkin ia sedang mengerjakan akreditasi. Mungkin Azmi sedang mengamuk karena keinginannya tak dituruti. Atau mungkin mereka sedang duduk berdua di lantai atas—menatap kue tanpa lilin yang tak pernah dinyalakan.  

Angin malam menyusup lewat jendela. Membawa gemerisik daun cempedak kering di halaman. Bunyinya seperti uang kertas bergesekan. Menghina. Mengingatkan pada rekening yang nyaris nol. Pada angsuran yang belum terbayar. Pada janji-janji manis yang pernah kuluapkan dulu.  

Di cermin kamar, kulihat sosok asing. Tulang selangka mencuat seperti sayap patah. Perut mengerut. Mata seperti lubang hitam. Ini bukan aku yang dulu memeluknya erat di hari pernikahan. Bukan aku yang menggendong Azmi sambil berlari di halaman. Tubuh ini jadi monumen kegagalan. Batu nisan untuk suami dan ayah yang tak bisa memenuhi janji.  

Jam menunjukkan pukul delapan lewat satu menit. Malam masih panjang. Sepi masih tebal. Dan rindu ini—rindu yang membunuh pelan-pelan—baru saja menggigit lagi. Lebih dalam. Lebih ganas. Menyisakan lubang di tempat yang dulu bernama hati.  

Aku menutup mata. Membayangkan suasana rumah. Tapi yang muncul hanya bayangan kabur. Wajah-wajah yang mulai luntur dari ingatan. Seperti foto yang terlalu lama kena hujan.  

Sayapku...  
Di mana sayapku?