Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

27 Juni Kelabu

27 Juni, jam 9 malam. Ponsel itu bergetar di atas meja kayu yang hampir lapuk, memecah kesunyian kamar. Anakku. Suara kepakan burung malam di luar jendela tiba-tiba mati. Saat kuangkat, yang muncul bukan senyumnya, melainkan sepasang mata yang memantulkan cahaya layar seperti kaca pecah. Pipinya basah. Air mata itu mengalir tanpa suara—sungai bening yang mengukir lembah di wajah kecilnya. Diam. Sangat diam. Hanya desisan napas tersendat yang menyelinap lewat sambungan telepon.  

Lusuh baju tidurnya. Kaos motif dinosaurus yang dulu kupilih kini pudar dan kusut. Di belakangnya, dinding kosong. Tak ada balon. Tak ada hiasan berwarna-warni. Hanya bayangan Bundanya yang tengah mengusap punggung, berusaha membuatnya lebih tenang.

Aku tahu hari ini tanggalnya. Sudah kucatat dengan tinta merah di kalender tua. Tapi kalender itu kini seperti kuburan kecil: halaman 27 Juni terlipat sendiri, bersembunyi di balik lembaran lain.  

Tangannya mengepal di depan kamera. Mengejang. Seakan menggenggam udara yang seharusnya berisi bungkus kado. Tidak ada apa-apa. Kata-katanya tak terucap, tapi terbakar di retina mataku. Tak ada kertas kado berkilau. Tak ada kue dengan lilin yang ditiup. Tak ada tepuk tangan.

Dadaku sesak. Ingin kuraih dia lewat layar. Ingin kusapu air matanya dengan tanganku. Tapi yang kulihat hanya pantulan diriku di layar ponsel: lelaki berpipi cekung, bermata buram, mulutnya terkunci oleh segunung penjelasan yang tak layak didengar anak tujuh tahun. Kondisi tidak mendukung. Bukan alasan. Bukan penghibur. Hanya batu besar yang menghancurkan dadaku sendiri.  

Keuangan? Angka-angka di rekening sudah seperti sumur kering. Bahkan untuk sekotak coklat atau mainan plastik pun, digit terakhir takkan cukup. Dan pulang? Ongkos bus saja setara dengan jatah makanku enam hari. Kepalaku menunduk. Napasku bergetar. Tak ada kata maaf yang bisa membangunkan pesta yang mati sebelum lahir.  

Di layar, dia mengusap wajah dengan punggung tangan. Gerakan kasar. Seperti ingin menghapus hari ini dari kulitnya. Matanya menatap kosong ke suatu titik di belakang kamera—mungkin ke pintu yang tak pernah terbuka. Mungkin ke ruang tamu di mana tak ada seorang pun datang.  

Aku membisu. Lidahku beku oleh rasa bersalah yang menggumpal. Apa yang bisa diucapkan pada anak yang menangis karena ketiadaan? Janji? Itu pengkhianatan. Cerita indah? Itu kebohongan. Diamku menjadi jurang. Tangisnya menjadi gema yang memantul di dinding kamar yang lembap.  

Lalu dia memeluk guling. Wajahnya tenggelam dalam kain sarung bantal. Bahunya bergetar. Layar menggoyang bayangannya yang terfragmentasi. Kubisikkan, "Nanti..." tapi kata itu hancur di tengah jalan. Terpotong sinyal. Atau mungkin tercekik oleh tangis yang akhirnya pecah: suara isak pendek yang seperti kaca diinjak.  

Gelap. Panggilan terputus. Ponsel bergetar getir—notif baterai 5%. Kudekap benda itu. Dinginnya merambat ke tulang dada. Di luar, angin malam meraung lewat genteng. Bunyinya seperti nyanyian ulang tahun yang dinyanyikan untuk angin.  

Dan di penyimpanan ponselku, selembar foto lama menatapku: anakku sekian tahun yang lalu, tertawa dengan kue ulang tahun di depannya. Lilin menyala. Matanya bersinar. Sekarang, api itu padam. Padam oleh seratus hari jarak dan seribu rupiah yang tak tersedia.  

Malam ini, usia tujuh tahunnya tumbuh dalam air mata. Dan aku, dari kota lain, hanya menjadi saksi bisu bagi kesedihan yang tersekap dalam layar 5 inci.