Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Aku duduk di teras yang lembap, secangkir kopi pahit di tangan. Tak ada gula. Hanya hitam pekat yang menggumpal di dasar gelas. Seperti hidupku.
Di atas, langit Madiun berbintang tapi terasa dingin. Aku membayangkan-Nya duduk di kursi kosong sebelahku—tangan-Nya bertumpu di meja kayu yang lapuk, mata-Nya menatapku tanpa penghakiman.
“Aku ingin ngobrol santai, Tuhan,” bisikku ke angin malam.
Asap kopi mengepul seperti doa yang tak berbentuk.
“Tentang kapan kesepian ini akan berakhir? Sepuluh bulan rasanya seperti sepuluh tahun. Setiap pulang ke Sidoarjo, justru membuat jarak semakin nyata. Seperti luka yang terus dikorek.”
Kusentuh gelas yang panas. Kukayuh keberanian untuk bertanya lebih dalam:
“Kapan nasib ini membaik? Aku lelah jadi pengemis rezeki. Kerjaanku yang dulu lumayan, sekarang sepi. Inbox kosong. Tagihan menumpuk. Badan kurus tinggal 89 kilo—tulang-tulang ini bersuara setiap kali bergerak.”
Mataku menatap jalanan gelap di depan rumah.
“Aku punya mimpi sederhana: punya mobil butut. Agar bisa mengantar Ibu kontrol ke rumah sakit tanpa mengandalkan Grab. Agar bisa menyetir langsung ke Sidoarjo ketika rindu pada Azmi dan Istriku tak tertahankan. Tanpa harus menghitung ongkos bus.”
Kopiku semakin dingin. Gumpalan ampasnya mengendap.
“Kapan aku boleh jadi kaya, Tuhan? Tak perlu mewah. Cukup untuk beli kado ulang tahun yang tak pernah terkirim. Cukup untuk bayangin sekolah Azmi tanpa mimpi buruk. Cukup untuk lihat senyum Istriku tanpa beban di pelipisnya.”
Tapi langit diam. Hanya suara jangkrik yang menjawab dari semak-semak.
Aku tahu ini bukan ritual permintaan. Hanya percakapan antara dua kekosongan: gelas kopiku yang separuh isi, dan dadaku yang separuh hampa.
Dari luar, kulihat lampu kamar Ibu menyala. Batuknya kembali menggema. Napasku tersendat. Ingin kuteriakkan: “Aku ingin hidup dengan dua sayapku!” Tapi yang kulumur hanya ampas kopi yang pahit.
Kubayangkan Tuhan menyeruput kopi-Nya. Mungkin rasa pahitnya sekuat rasa getirku. Lalu Dia menatapku pelan:
“Lalu apa yang kau lakukan saat menungguku menjawab?”
Angin berbisik. Aroma kopi menguap. Gelasku kini kosong—tinggal lingkaran hitam di dasarnya. Seperti lubang di jiwa yang tak kunjung terisi.
Aku tahu, nongkrong ini takkan memberi jawaban instan. Tak ada jadwal kesembuhan Ibu. Tak ada garansi rezeki mendadak. Tak ada mobil ajaib terparkir di pagi hari. Tapi mungkin, dalam kesunyian teras ini, ada satu hal yang tersisa:
-> Kesadaran bahwa aku masih bisa mencicipi pahitnya kopi.
-> Masih bisa mendengar batuk Ibu.
-> Masih bisa merasakan rindu yang mencabik.
Bukankah itu bukti bahwa aku masih hidup?
Aku tegakkan gelas kosong itu ke langit.
“Terima kasih untuk kopinya, Tuhan.”
Lalu kumasukkan sisa pertanyaanku yang tak terjawab ke dalam kantong jaket yang bolong.
Besok, mungkin kupancing rezeki dengan jaring yang lebih lebar.
Atau kupeluk rindu ini sedikit lebih kencang.
Atau kucoba lagi menghubungi klien yang minggu lalu tak membalas.
Langit masih gelap.
Tapi di timur, ada garis tipis cahaya yang mulai menguak.
Seperti secangkir kopi baru yang diseduh pelan-pelan.
Aku akan menunggumu lagi besok malam, Tuhan.
Dengan gelas yang lebih bersih.
Dan hati yang sedikit lebih ikhlas.

