Jam setengah lima pagi. Fajar masih menyisakan kegelapan yang melekat di ujung langit. Aku berdiri di dapur, tangan tengah mengaduk bumbu di wajan, uap panas mengepul membaur dengan keringat yang mengucur di pelipis. Bapak di sampingku memotong sayur dengan ritme stabil, pisau berketuk pelan pada talenan kayu.
Lalu dering telepon memecah kesunyian—suara istri dari seberang: parau, tercabik, tenggelam dalam isakan yang dalam. "Ayah.. Abah meninggal..." Kata-kata itu menggantung sebentar sebelum sambungan terputus. Seperti layar yang dirobek paksa di tengah pertunjukan.
Aku tertegun. Pisau di tangan Bapak berhenti bergerak. Minyak di wajan mendesis keras, membakar bumbu hingga menghitam. Bau gosong memenuhi dapur, tapi aku tak bisa bergerak. Baru dua malam aku tidur di rumah ini. Baru dua malam aku menikmati kasur sendiri, mencium bantal yang masih menyisakan aroma kesepian. Sekarang, lagi-lagi, jalanan panjang menanti. Lagi-lagi, kota yang berbeda memanggil.
Kulihat jemariku yang masih berminyak. Kulihat jam dinding: 05.17. Di luar, langit mulai memudar dari hitam menjadi biru kelam. Seperti perasaan ini—antara terang dan gelap, antara ingin berangkat dan ingin tertidur lagi.
Capek? Tubuh ini sudah remuk. Tulang-tulang berteriak minta diistirahatkan. Tapi hati lebih keras berteriak: Pergi. Sekarang. Mereka membutuhkanmu.
Kubersihkan wajan yang hangus. Kuletakkan pisau di wastafel. Air mengalir di tangan, tapi perasaan tak bisa dibersihkan begitu saja. Bapak memandangiku dalam diam. Matanya berkata: "Lakukan apa yang harus kau lakukan."
Kubuang wortel yang setengah teriris ke tempat sampah. Kuletakkan pisau di wastafel. Air keran masih menetes. Suara tik... tik... tik... itu seperti detak jam yang tak sabar. Kulanjutkan memasak dengan gerakan otomatis. Tanganku menggoreng telur, tapi pikiranku melayang ke Sidoarjo. Ke istriku yang sekarang sendirian mengatur segalanya. Ke Azmi yang mungkin belum paham mengapa kakeknya tak lagi bangun.
Tanpa bicara, kuambil tas yang baru saja kubuangkan dua hari lalu. Kuisi dengan beberapa helai baju. Celana. Charger ponsel. Dan segumpal kelelahan yang semakin berat.
Disana, tak lagi ada suara parau yang memanggilku "Badrul..." dengan logat maduranya yang kental. Tak lagi ada suara parau bernada rendah yang meminta tolong membenarkan saluran TV-nya yang hilang.
Memang, tubuh ini masih lelah. Otot-otot masih mengingat perjalanan pulang yang jauh. Tapi sekarang, harus kembali. Harus membungkus lagi baju-baju yang belum sempat dicuci. Harus menempuh jalan yang sama—Madiun-Sidoarjo—dengan beban yang lebih berat.
Jadi pagi ini juga aku berangkat.
Meski badan serasa dibebani batu.
Meski mata ini berat untuk terbuka.
Karena cinta tak pernah memilih waktu yang tepat.
Dan keluarga adalah alasan untuk tetap bergerak— bahkan ketika kaki sudah tak mau lagi melangkah.
Abah, semoga tenang di perjalanan terakhirmu.
Kami akan merindukan cerita-ceritamu yang tak pernah habis.
Dan untuk istriku: tunggu aku.
Aku sedang dalam perjalanan.
Membawa semua sisa kekuatan yang ada.
Untuk kita.
