Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Aku, Kegelapan, dan Jalan Pulang

Aku terlempar jauh. Bukan oleh angin atau badai, tapi oleh keputusan-keputusan yang kubahas sendiri. 

Setiap pilihan yang kulakukan seperti melemparkan batu ke danau, dan riaknya justru membawaku ke tengah lautan kesepian.

Dingin yang kurasakan bukan berasal dari udara, tapi dari dalam. Dari ruang hampa yang kubiarkan tumbuh di antara tulang rusukku. Aku membeku dalam ketakutan sendiri, dalam keraguan yang kupelihara seperti anak kandung.

Mereka tertawa. Suara-suara itu berasal dari dalam diriku sendiri. Bagian-bagian gelap yang kusembunyikan selama ini kini muncul sebagai penonton yang mengejek. Mereka menyaksikan setiap jatuh bangunku, setiap air mata yang kutumpahkan, setiap luka yang kubiarkan menganga. Aku bisa mendengar tawanya meski tak ada suara. Aku bisa melihat senyum sinisnya meski tak ada wujud. 

Mereka adalah bayang-bayang yang hidup dari penderitaanku sendiri.

Tak ada warna yang tersisa. Semuanya jadi serba hitam pekat. Seperti tinta yang tumpah dan menutupi segala sesuatu. Aku berjalan dalam kegelapan ini, meraba-raba dinding yang tak berujung.

Padahal di luar, matahari tetap terbit setiap pagi. Cahayanya menyinari jalanan, menerangi rumah-rumah, membawa kehangatan bagi yang mau menerimanya. Tapi aku? Aku memilih untuk tetap di dalam ruangan gelap ini. Aku takut pada cahaya itu.

Takut cahaya itu akan menunjukkan semua kekuranganku, semua kegagalanku, semua hal yang selama ini kusembunyikan.

Waktu terus berlari. Tak peduli dengan rencanaku, tak peduli dengan harapanku. Detik demi detik bergulir seperti banjir yang deras, menghanyutkan segala sesuatu di depannya. Aku berdiri di tepian, bingung harus melompat atau tetap di tempat.

Kesempatan dan kematian terlihat sama bagiku. Keduanya datang tanpa permisi, tanpa peringatan. Aku tak bisa membedakan mana yang akan menyelamatkanku, mana yang akan menenggelamkanku.

Tuhan, aku masih berdoa kepada-Mu. Meski mulutku seringkali mengucapkan kata-kata yang tak pantas. Meski ragaku seringkali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan doaku. Aku masih percaya bahwa Engkau mendengar. Bahwa Engkau tahu betapa dalamnya kerinduan ini.

Kerinduan untuk kembali. Kerinduan untuk pulang.

Aku meminta belas kasih-Mu.

Meski aku tahu, aku sering lupa berterima kasih. Aku sering lupa bersyukur untuk nafas yang masih kuhirup, untuk jantung yang masih berdetak, untuk kesempatan yang masih diberikan. Aku terlalu sibuk dengan kesedihanku sendiri, terlalu larut dalam keputusasaanku sendiri.

Aku ingin pulang, Tuhan.

Bukan ke rumah dengan dinding dan atap. Tapi ke tempat di mana hatiku merasa tenang. Tempat di mana air mata tak lagi terasa sebagai beban, tapi sebagai pembersih jiwa. Tempat di mana sujud bukan lagi kewajiban, tapi kebutuhan. Tempat di mana aku bisa melepaskan semua topeng, semua pertahanan, semua kepura-puraan.

Kepada-Mu, Tuhan. Hanya kepada-Mu.

Di tengah semua kegelapan ini, hanya nama-Mu yang masih bisa kuraba. Hanya kasih-Mu yang masih bisa kuharap.

Aku mungkin tersesat, tapi aku tahu jalan pulang. Aku mungkin jatuh, tapi aku tahu ada "tangan" yang akan menolong. Aku mungkin gagal, tapi aku tahu pengampunan-Mu tak pernah habis.

Tuhan, seperti yang Engkau tahu; Aku menuliskan ini bukan karena kuat, tapi justru karena lemah. Aku berbagi ini bukan karena berani, tapi justru karena takut. Tapi dalam kelemahan dan ketakutan ini, ada keyakinan kecil yang terus hidup. Keyakinan bahwa cahaya-Mu lebih kuat dari kegelapanku. Kasih-Mu lebih dalam dari lautan kesedihanku. Dan rahmat-Mu lebih luas dari alam semesta keputusasaanku.

Maka izinkan aku, Tuhan, untuk tetap datang.

Meski dengan kaki yang gemetar. Meski dengan hati yang berlubang. Meski dengan jiwa yang compang-camping.

Terimalah aku yang tak sempurna ini. Yang sering khilaf. Yang sering lalai. Yang sering terjatuh.

Karena hanya pada-Mu, aku bisa menemukan rumah yang sejati. Hanya dalam dekapan-Mu, aku bisa menemukan ketenangan yang hakiki. Hanya dalam kasih-Mu, aku bisa menjadi utuh kembali.