Bu, Usiaku kini telah melewati batas yang dulu kupikir akan penuh dengan kepastian. Tapi yang kudapati justru ketakutan yang semakin mengkristal di dalam darah. Aku takut pada hari-hari yang datang silih berganti, pada detik-detik yang terasa seperti beban bukan anugerah. Setiap matahari terbit seolah membawa pertanyaan baru: "Bisakah kau bertahan lagi hari ini?" Dan aku tak punya jawaban. Tapi anehnya, Ibu, di saat yang sama aku juga tak punya nyali untuk mengakhiri semua ini. Aku terjebak dalam ruang antara—takut hidup, tapi lebih takut mati. Seperti burung yang sayapnya patah tapi masih takut terjatuh.
Lima tahun terakhir adalah museum kekalahanku. Setiap dindingnya dipajangi kenangan tentang pilihan yang salah, harapan yang gagal, dan air mata yang tersembunyi. Aku ingat betapa percaya dirinya dulu—menganggap dunia bisa ditaklukkan dengan semangat dan kerja keras. Tapi kehidupan membuktikan bahwa tak semua yang kau perjuangkan akan berbuah manis. Ada yang berubah menjadi racun yang perlahan membunuhmu dari dalam. Aku yang dulu ingin menjadi kebanggaanmu, kini justru menjadi bayangan yang bersembunyi di balik pintu.
Setiap kali menatap cermin, yang kulihat adalah seorang lelaki dengan bahu yang tak lagi mampu menopang beban. Matanya sayu, seperti danau yang keruh oleh endapan kekecewaan. Senyumnya paksa, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi di balik itu, ada lorong panjang yang gelap—tempat di mana semua kegagalan berkumpul, berbisik, menertawakan usahaku yang sia-sia.
Dan luka-luka lama... Bu, mereka tak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya bersembunyi di balik tirai kesibukan, menunggu malam yang sunyi untuk muncul kembali. Luka karena usaha yang bangkrut, karena melihat orang tuaku menggadaikan barang berharga untukku, karena mendengar anakku bertanya mengapa temannya punya mainan baru sedangkan ia tidak. Luka karena tahu bahwa istriku harus memilih antara bayar listrik atau bayar sekolah anak. Mereka seperti tattoo yang tertanam di jiwa—tak bisa dihapus, hanya bisa disembunyikan.
Ibu,
Kau selalu bilang aku kuat. Tapi yang kau lihat hanyalah lapisan terluar. Seperti pohon yang tampak tegak, tapi akarnya sudah keropos dimaki rayap. Ketika orang-orang bertanya tentang rencanaku, tentang masa depanku, aku hanya bisa terdiam. Kata-kata macet di tenggorokan. Apa yang harus kujawab? Bahwa aku tak lagi punya mimpi? Bahwa yang kupikirkan setiap hari hanyalah bagaimana bertahan sampai besok? Bahwa keberanianku sudah habis terkikis oleh penolakan dan kegagalan?
Masa depan... Dua kata yang dulu begitu indah, kini seperti hutan belantara yang gelap. Aku berjalan tanpa peta, tanpa kompas, hanya mengandalkan sisa insting untuk terus bergerak. Kadang aku berharap ada yang bisa menuntun tanganku, menunjukkan jalannya. Tapi di saat yang sama, aku takut pada kenyataan yang mungkin kutemui. Mungkin lebih mudah tetap tersesat daripada mengetahui bahwa jalan buntu adalah satu-satunya tujuan.
Dan, Buuu.. Di usiaku yang semakin menua ini, segalanya terasa semakin abu-abu. Seperti lukisan yang warnanya memudar dimakan waktu. Tak ada lagi hitam putih yang jelas, yang ada hanya nuansa kelabu yang menyelimuti setiap sudut kehidupanku. Aku bingung harus memulai dari mana, harus memperbaiki apa dulu, harus mencari apa sebenarnya. Rasanya seperti berada di kapal yang rusak di tengah lautan, tanpa tahu arah pantai terdekat.
Kepiluannya adalah bahwa aku masih bisa merasakan semua ini. Masih bisa merasakan pedihnya kegagalan, perihnya melihat orang yang kusayangi menderita karena ulahku, hancurnya harga diri setiap kali harus meminta bantuan. Aku seperti terkurung dalam penjara yang kunci nya ada di tanganku sendiri, tapi tanganku terlalu lemah untuk memutarnya.
Bu,
Maafkan bungsumu.
Maaf untuk semua janji yang tak kesampaian.
Maaf untuk semua harapan yang kukecewakan.
Maaf untuk air mata yang harus kau teteskan karenaku.
Maaf karena tak menjadi anak yang bisa kau banggakan.
Maaf karena tak menjadi suami dan ayah yang ideal.
Maaf untuk semua ketakutan dan kelemahan ini.
Maaf karena masih terus bertahan meski tak tahu lagi untuk apa.
Tapi Bu,
Di tengah semua kegelapan ini, masih ada secercah cahaya kecil—kenangan akan pelukanmu, bayangan senyum anakku, genggaman tangan istriku yang tak pernah lepas. Mungkin itulah yang membuatku tetap berjalan. Mungkin mukjizat itu tidak selalu berupa keajaiban besar, tapi berupa kekuatan kecil untuk bangun setiap pagi meski berat, untuk tetap bernapas meski sesak, untuk tetap berharap meski seringkali harapan itu tak terwujud.
Aku masih di sini, Bu.
Masih mencoba.
Masih berjuang.
Dengan segala ketakutan dan kelemahanku.
Dengan segala rasa bersalah dan penyesalanku.
Dengan luka-luka yang semakin melebam tapi tak pernah hilang.
Dan untuk saat ini,
Mungkin itu sudah cukup;
untuk bertahan satu hari lagi.
untuk percaya bahwa besok mungkin akan berbeda.
untuk tetap hidup dalam semua ketidaksempurnaan ini.
Bu, maafkan anak bungsumu..

