Lima tahun terakhir bagai lima musim kemarau yang tak kunjung usai. Setiap langkah yang kuyakini menuju mata air, justru membawaku lebih dalam ke gurun. Aku yang dulu percaya bisa menjadi tiang penyangga, kini justru merasa seperti beban yang mengoyak setiap sendi keluarga. Setiap ambisi yang kupendam untuk mengangkat hidup kami, berbalik menjadi batu yang menghantam kepala sendiri. Dan yang paling pedih—orang-orang yang kucintai terseret dalam pusaran ini.
Aku ingat pagi itu lima tahun lalu. Penuh keyakinan memulai bisnis, mata berbinar bicara tentang masa depan cerah. Kini yang tersisa hanya tumpukan kertas tagihan, janji kepada rentenir, dan malu yang tak terucap. Setiap telepon dari bank membuat jantung berdebar tak karuan. Setiap ketukan pintu oleh kurir mengingatkan pada utang yang menggunung. Aku menjadi ahli dalam menyembunyikan kepanikan, tapi tak mampu menyembunyikan efeknya pada mereka.
Orang tuaku yang seharusnya menikmati masa tua, kembali mengais rezeki untuk menyelamatkanku. Keriput di wajah mereka seolah bertambah setiap kali mereka membantuku membayar cicilan. Matanya yang dulu penuh kebanggaan, kini sering menatapku dengan pandangan sayu—bukan kecewa, tapi justru itu yang lebih menyiksa. Kasih sayang mereka yang tak pernah surut justru membuatku semakin tenggelam dalam rasa bersalah.
Istri dan anakku... mereka adalah korban paling tak bersalah. Setiap kali aku gagal, bayangan itu terpantul di mata mereka. Azmi yang tak lagi bisa kubicikkan mainan terbaru. Istri yang harus berkerja banting tulang untuk agar kami bisa menyambung hidup. Mereka tak pernah mengeluh, tapi justru diamnya mereka yang membakar hati. Aku ingin menjadi pahlawan bagi mereka, tapi yang kuperoleh hanya menjadi sumber masalah.
Mertua yang dulu mempercayaiku menyerahkan putrinya, kini harus menyaksikan putri mereka hidup dalam ketidakpastian. Meski tak pernah mengatakannya, aku bisa merasakan betapa khawatirnya mereka. Setiap kunjungan ke rumah, terasa seperti ujian—seolah aku harus membuktikan bahwa putrinya tidak salah memilih.
Tuhan, di malam-malam panjang seperti ini, aku menatap langit dan bertanya: Benarkah mukjizat-Mu masih ada? Aku bukan meminta kekayaan mendadak atau kesuksesan instan. Aku hanya meminta secercah harapan bahwa perjuangan ini tidak sia-sia. Bahwa air mata yang mengalir di bantal setiap malam tidak hanya akan menguap begitu saja. Bahwa penderitaan orang-orang yang kusayangi karenaku akan tertebus suatu hari nanti.
Aku masih ingat doa-doa kecil Azmi sebelum tidur. Masih ingat pelukan istri di kala aku hampir menyerah. Masih ingat orang tuaku yang tak pernah berhenti percaya. Mungkin inilah mukjizat-Mu yang halus—cinta yang tak pernah padam meski badai menerpa. Mungkin mukjizat itu bukan tentang menghentikan badai, tapi tentang memberikan kekuatan untuk tetap berdiri di tengah hujan.
Malam ini, di kamar yang sama dengan mimpi-mimpi yang pecah, aku masih menunggu. Masih percaya bahwa di balik semua kegelapan ini, ada fajar yang akan datang. Bahwa di balik semua air mata, ada tawa yang akan kembali. Aku mungkin terluka, mungkin lelah, mungkin hampir menyerah—tapi selama napas masih ada, selama masih ada yang percaya, aku akan terus menunggu mukjizat-Mu.
Sebab mukjizat terbesar mungkin bukan tentang mengubah keadaan,
tapi tentang tetap bertahan ketika segalanya ingin meruntuhkanku.
Tentang tetap berjalan meski kaki berlumuran darah.
Tentang tetap percaya meski yang terlihat hanya kegelapan.
