Layar ponsel bergetar kemarin malam. Seperti nyala lilin yang hampir padam. Di ujung sana, wajah anakku muncul sebentar—terpotong pinggiran layar oleh sinyal yang renggang. Matanya berbinar. "Ayah, lihat ini!" Tangannya mengacungkan buku gambar yang hampir robek.
Pelangi. Garis-garis krayon merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Tapi warnanya pudar. Tertutup bekas jari yang coret-coretan. "Ini pelangi buat Ayah," bisiknya. Suaranya kecil. Seperti burung pipit yang kakinya patah.
Kutekan jari ke layar. Menyentuh gambar itu. Tapi yang kurasakan hanya kaca dingin. Di sudut kiri bawah, ada bentuk kotak dengan dua kaki. "yang dibawah ini Ayah," katanya lagi. Krayon birunya terkelupas. Kakiku terpotong di tepi kertas. Seperti patung tanah liat yang remuk.
Dadaku sesak. Ada jeritan besar menggelinding dari ulu hati: "Aku masih utuh! Aku masih ada di sini! Lihat aku—daging dan tulang, bukan garis biru di kertas robek!" Tapi yang keluar dari mulutku cuma desis angin: "Wahh... Bagus sekali nak gambarnyaa.. kereeenn..." Suaraku parau. Seperti pintu berkarat yang dibuka paksa.
Dia tersenyum. Senyum tipis yang tak sampai ke mata. "Kapan Ayah pulang? Pelanginya mau aku tempelin di tembok kamar..." Pertanyaan itu menggantung. Terpotong derau statis. Layar membeku. Wajahnya pecah jadi piksel-piksel hijau.
Aku menatap kosong. Jari-jariku menggenggam udara. Dingin. Di latar belakang, kudengar suara istriku: "Udah dulu ya azmi, udah malam... besok sekolah..." Lalu gelap. Layar mati. Refleksi wajahku muncul di kaca hitam—bayangan buram yang terbelah dua.
Kubalikkan ponsel. Kulihat pantulanku di jendela kamar. Wajah itu... bukan wajahku yang dulu. Matanya cekung. Pipinya kempot. Rambut berantakan. Seperti foto yang dihapus setengahnya. Di baliknya, terlihat atap rumah tetangga. Genteng-genteng merah yang retak.
Di sana... di balik bayanganku yang pecah... ada bayangan lain. Seorang anak kecil yang sedang mengangkat buku gambarnya ke langit. Pelanginya mengambang di udara lembab.
Dan aku?
Aku hanya siluet tanpa kontur. Tanpa kaki. Tanpa suara. Terkoyak di antara dua kota.
Angin malam menyelinap lewat celah jendela. Membawa gemerisik daun kering. Bunyinya seperti kertas gambar yang diremas-remas. Perlahan. Penuh amarah. Kuraih bantal. Kudekap. Mencari sisa-sisa bau rumah. Tapi yang terendus hanya aroma obat nyamuk dan keputusasaan.
Jam di dinding berdetak. Setiap "tik"-nya mengukir pertanyaan baru di dinding jiwaku:
• Berapa banyak lagi pelangi yang akan kulewatkan?
• Berapa lama lagi aku hanya jadi bayangan di buku gambarnya?
• Sampai kapan aku hanya berbisik-bisik parau di ujung telepon?
Jawabannya hilang dalam gelap. Tinggal bayangan yang semakin menciut. Menyusut. Menjadi titik biru di sudut kertas yang terlupakan.
