Pukul 05.47. Fajar baru saja mengoyak ufuk, tapi kamar ini masih diselimuti kabut kelabu. Cangkir keramik pecah di pinggir itu—peninggalan malam yang gagal—masih berdiri tegak di tepi meja kayu lapuk. Kopi hitam semalam, yang kutunggu jadi saksi doa-doa yang tak terucap, kini membeku jadi danau mati. Kerak hitam mengambang di permukaannya, seperti pulau-pulau kecil di lautan yang kehilangan ombak. Kuminum sisa terakhirnya. Cairan pekat itu mengalir dingin di kerongkongan, pahitnya bukan lagi di lidah, tapi meresap sampai ke sumsum tulang. Lebih tajam dari pisau. Lebih perih dari air mata yang mengering di pipi. Rasanya seperti meneguk sumpah yang tercecer—janji pada diri, pada mereka, pada-Nya—yang kini jadi racun di dalam gelas.
Di depanku, terhampar kekacauan yang kusakralkan: tumpukan kertas kusam. Surat-surat untuk-Mu. Ribuan kata yang kutulis dalam gelap, saat rindu membakar atau putus asa mencekik. Setiap helai adalah jerat yang kurai dari jantung: permintaan, protes, rayuan, teriakan bisu. Kutumpuk rapi, kususun seperti altar mini di meja yang penuh noda kopi. Tapi kulihat debu sudah menutupinya. Laba-laba merajut jaring tipis di antara sudut-sudut kertas, menjadikannya kuburan kata sebelum sempat terbang.
Kadang kubayangkan mereka—surat-surat itu—melayang ke langit. Menembus atap seng yang bocor, menari di antara awan, lalu jatuh di hadapan Takhta. Tapi pagi ini, di cahaya fajar yang kejam, kusadari: mereka tak pernah sampai. Atau mungkin… Kau sengaja biarkan mereka terkatung. Mengambang selamanya di ruang kosong antara langit dan bumi. Seperti jaring laba-laba yang robek, diterbangkan angin lalu tersangkut di dahan kering. Tak utuh. Tak berarti. Hiasan suram di tengah ketiadaan.
Kuraih satu lembar. Kertasnya menguning, tintanya pudar di sudut-sudut tempat tetesan air jatuh—atau air mata? Kubicarkan jemariku menyentuh tulisan tangan yang goyah: "Kapan kesepian ini berakhir?", "Mengapa jalan ini hanya gelap?", "Berilah aku satu tanda…". Huruf-huruf itu sekarang terasa asing. Seperti coretan anak kecil di pasir yang dihantam ombak. Tak ada jejak. Tak ada gema.
Di luar, burung-burung mulai berkicau. Suara riang yang menusuk. Dunia bergerak, tapi surat-surat ini beku. Seperti kopi di cangkir. Tak ada tangan yang membalik halamannya. Tak ada mata yang menatap keputusasaanku yang tercoret biru dan hitam. Mereka hanya menumpuk. Semakin tinggi. Semakin berat. Menjadi menara Babel pribadi yang runtuh sebelum menyentuh langit.
Kutengok cangkir kosong. Di dasarnya, endapan kopi membentuk pola acak—seperti peta nasib yang tak terbaca. Kuhirup dalam-dalam. Udara pagi berbau basah dan tanah. Bau bumi yang tak peduli pada surat-surat atau doa yang menguap. Kukumpulkan kertas-kertas itu. Kutekan ke dada. Dingin. Keras. Seperti batu nisan untuk harapan yang dikubur hidup-hidup.
Lalu kulempar ke dalam kardus bekas di sudut. Suara gesekan kertas itu seperti erangan terakhir. Kardus itu kubungkus rapat dengan selotip perekat. Peti mati untuk kata-kata yang mati sebelum lahir. Untuk percakapan dengan langit yang hanya berakhir pada derai angin di genting.
Dan cangkir kopi dingin itu…
Kubiarkan tetap di tepi meja.
Menjadi monumen bagi doa yang membatu.
Dan surat-surat yang mengering dalam kotak—
Epitaf untuk iman yang menunggu jawaban di ruang hampa.

