Catatan Lusuh
Catatan Lusuh

Tuhan, Masihkah Kau Punya Waktu?


Jam dinding itu berdetak.  

Tik. Tok. Tik. Tok.  

Suaranya menggergaji hening kamar.  

Seperti tetes air menggerus batu.  

Atau seperti nafasku sendiri—  

yang mulai ragu apakah masih layak dihirup.  


Aku menatap langit-langit.  

Retakannya membentuk peta kota-kota yang tak pernah kukunjungi.  

Atau mungkin labirin jiwa yang sudah kusasar? 

Tak ada jawaban.  

Hanya debu jatuh pelan, menari dalam sinar bulan yang pucat.  


---


Surat yang Tak Pernah Sampai

Tuhan,  

Aku menulis ini bukan di atas kertas suci.  

Tapi di atas remah-remah keyakinan yang berjamur.  

Dengan tinta yang campurannya:  

Sepersepuluh harap.  

Sesendok penyesalan.  

Dan sembilan puluh sembilan bagian air mata asin yang membeku. 

Kau bilang: "Mintalah, maka akan Kuberikan."  

Tapi mulutku kelu.  

Lututku sakit dari berlutut di lantai yang dingin.  

Kepalaku—kosong.  

Seperti mangkuk pecah yang menampung hujan bocor.  


---


Antrean Panjang di Langit  

Tuhan, apakah di sana juga ada antrean?  

Seperti di bank, atau klinik jiwa yang sumpek?  

Nomor antreanku: 9.999.999.  

Dan setiap kali hampir tiba giliranku—  

Lampu "istirahat" Kau nyalakan.  

Atau suara dari pengeras:  

"Maaf, waktu doa habis. Silakan kembali besok."  

Besok.  

Besok.  

Kata yang mulai terasa seperti pisau tumpul  

yang mengiris harapan tipis-tipis.  


---


Melihat Wajah-Mu di Dalam Hujan  

Tadi sore, hujan turun deras.  

Aku berdiri di tepi jendela—  

kaca berembun, dunia buram.  

Di sana, di antara butiran air yang pecah di aspal,  

kulihat bayangan sesuatu.  

Wajah-Mu?  

Atau cuma ilusi dari kelelahan dan kerinduan yang mengganjal?  

Kucoba berteriak.  

Suaraku tenggelam dalam gemuruh petir.  

Lalu kau hilang—  

dilalap genangan di lubang got.  

Tinggalkan aku.  

Dengan baju basah dan pertanyaan yang semakin berat:  

"Masihkah Kau punya waktu untuk yang tersesat?"  


---


Jam-Jam yang Menggigit  

Waktu bukan lagi sungai.  

Ia jadi dinding bata tinggi.  

Tanpa pintu. Tanpa tangga.  

Aku mengetuk-ngetuk.  

Dengan buku jari yang lecet.  

Dengan dahi yang memar.  

Tapi yang terdengar hanya gema kosong—  

memantul di ruang hampa dada.  


Malam ini, jam dinding itu kupatahkan jarumnya.  

Persetan dengan detik, menit, jam!  

Tapi diamnya lebih menyakitkan.  

Seperti Kau memang tak pernah ada di balik angka-angka itu.  

Seperti jeritanku cuma monolog di gurun pasir.  


---


Sebelum Lampu Padam 

Kalau memang Kau sibuk—  

Atau lelah.  

Atau jijik. 

Bisakah Kau kirimkan setitik tanda?  

Sebuah isyarat kecil?  

- Seekor gagak yang hinggap di pagar.  

- Secangkir kopi yang tiba-tiba tak pahit.  

- Atau mungkin—  

      kesedihan yang tak lagi terasa seperti pisau, 

      tapi seperti hujan yang membasuh debu.  


Aku tak meminta mukjizat.  

Aku cuma minta konfirmasi.  

Bahwa jeritan yang kusimpan di tulang ini  

masih ada yang mendengar.

Bahwa langit bukan atap mati,  

tapi selimut yang sesekali bergetar oleh nafas-Mu.  


---


Untuk yang Tak (Lagikah?) Ada

Tuhan,  

jika Kau sedang duduk di suatu tempat—  

melihat aku terjatuh di sini—  

dengan jam rusak dan jiwa yang bocor...  


Jangan beri aku jawaban. 

Jangan beri aku petunjuk. 


Cukup kau bisikkan:  

"Aku masih di sini."  

Di dalam sunyimu yang pecah.  

Di dalam air matamu yang asin.  

Di dalam jam-jam yang kau patahkan.  

Aku—  

masih punya waktu.  

Untukmu.  

Sampai nanti kau berhenti menghitungnya."  


        CATATAN LUSUH  

        — coretan di dinding neraka yang sunyi  


___